"Stres Menjelang Ujian Nasional" Momen penentuan harga diri siswa?

PENGANTAR : Anda Mulia... Kita Mulia...kali ini di inbox redaksi www.kitamulia.blogspot.com ada artikel manarik yang dikirim oleh seorang guru SMP Al-Furqan 1 Jember Jawa Timur. Dia bernama GILIG PRADANA. Saat artikel ini diposting dia masih berada di Jepang tepatnya di Kato untuk menjalankan tugas sebagai mahasiswa di Universitas HYOGO UNIVERSITY OF TEACHER EDUCATION, mengambil studi MANAJEMEN SEKOLAH. Tidak heran kalau dia kemudian mengirimkan sebuah atikel yang membahas tentang fenomena Dunia Pendidikan kita di Indonesia. Artikel itu berjudul : "Stres Menjelang Ujian Nasional,Momen penentuan harga diri siswa?", Bagus sekali kalau diantara anda para pembaca mau memberi komentar bahkan tulisan-tulisan lebih lanjut, untuk kita...untuk menuju kemuliaan kita ..., mari kita cermati...



Setiap menjelang ujian nasional, para siswa dilanda stres yang luar biasa. Tidak hanya karena peningkatan aktivitas belajar, tetapi yang paling berat adalah beban psikologis yang diletakkan di pundak mereka; yakni apakah mereka akan lulus atau tidak. Seolah pertanyaan ini menentukan harga diri mereka, yang dari hasil ujian tersebut masyarakat akan menentukan label “pintar” bagi yang berhasil dan “bodoh” (atau bahkan “tidak berguna”) bagi yang gagal, atau paling tidak siswa akan dihantui perasaan semacam ini.

Kekhawatiran ini nampaknya tidak hanya menginfeksi siswa, tetapi juga mengepidemi pada orang tua siswa dan sekolahnya. Hal ini rupanya mendorong orang tua untuk mendaftarkan putra-putrinya ke tempat kursus sepulang sekolahnya, membuat jam lembur setelah belajarnya di sekolah. Hal mana yang ditangkap sebagai peluang bisnis yang tak akan kekurangan pasar. Tak jauh beda dengan apa yang terjadi di sekolah. Kegiatan belajar mengajar menjadi lebih spesial, meski kadang diskriminatif, dengan dibentuknya kelas-kelas khusus, pelajaran-pelajaran tambahan, semua menambah ketegangan menjelang unas.
Terkadang maksud baik menampilkan hitungan mundur di halaman depan sekolah dirasakan siswa di sekolah berkualitas rendah sebagai ancaman kegagalan. Menyadari bahwa sulit bagi siswa-siswa tersebut mengejar ketertinggalannya, maka semakin mendekat ke hari-H, mereka banyak yang keluar jalur. Cara yang kemudian banyak ditoleransi oleh siswa adalah dengan berbuat “membantu orang tua”, dengan tidak jujur alias curang: mencontek. Bahkan cenderung ditanamkan oleh pihak sekolah sendiri dengan pesan-pesan eufemis “bantulah temanmu” kepada siswa yang lebih pandai di kelas dan pesan “jangan terlalu ketat, bijaksanalah” kepada pengawas ujian yang kita semua tahu maksudnya apa.
Diakui atau tidak unas-lah yang menjadi pemicu semua efek berantai tadi. Jika ini yang menjadi dampak mayor ujian nasional, maka sudah seharusnya kita bisa menilai bagaimana efektivitas mekanisme standarisasi mutu pelajar di Indonesia ini. Berkat unas, sekolah gagal menjadi instrumen pendidikan, karena siswa tidak lagi menjadi subyek, melainkan obyek menderita. Dengan kata lain yang mungkin terdengar kasar, siswa menjadi korban ambisi.
Berbeda halnya, jika bukan apa yang telah diuraikan di atas yang terjadi, maka bolehlah kita melanjutkan penyelenggaraan ujian-ujian nasional berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar